“Kak Isti! Aku takut dengan hewan itu!” teriak seorang anak kecil dari taman depan kelas.
“Haaaa, bekicotttt! Menjijikkan!” teriak yang lain.
Tak jauh dari taman depan kelas, seorang anak kecil lainnya juga berteriak lebih kencang dari anak pertama. Sedangkan saat ini hanya ada dua kakak pengasuh di taman kanak-kanak desa ini, ditambah aku yang sengaja di tugaskan oleh guru BK sekolahku untuk mengisi blangko aneh ini. Sangat menyebalkan, menyebalkan sekali! Seharusnya aku bisa tertawa bersama teman di kelas, berjelajah kuliner di kantin, dan tidak lupa membully teman sekelas. Semuanya tersita.
“Menyebalkan!” umpatku dalam hati.
Aku terus saja menatap anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari. Namun, anak kecil yang tadi berteriak paling kencang malah menangis ketakutan. Aku malah merasa iba. Kak Isti yang berkerudung merah muda segera menghampiri anak itu. Terlihat dari pandanagnku ada seorang anak kecil laki-laki yang berusaha menjahilinya.
Dorrr!
Anak perempuan itu menangis ketakutan. Lihatlah wajahnya saat menangis. Mungkin, aku seperti itu saat masih kecil? Dengan langkah gontai, aku menghampiri mereka. Kak Isti menatapku tersenyum. Tak lama, anak perempuan itu seketika terhenti dari tangisannya. Entah racun apa yang diberikan Kak Isti pada anak itu.
“Danniel, ajak teman-temanmu kemari. Kak Isti punya cerita menarik.” ucap Kak Isti pada anak laki-laki yang jahil itu, lalu tersenyum. Ia kembali menatapku dan berkata, “Kak Hani ayo duduk disini, kita akan bercerita.” Aku hanya menurut, lalu duduk bersila di taman bersama Kak Isti dan anak-anak yang lain. Kupandangi satu persatu wajah mungil dihadapanku. Aku tersenyum.
***
Alkisah,
Perjalanan yang melelahkan, mungkin semua makhluk yang hidup di dunia ini juga melakukan perjalanan. Namun, berbeda dengan makhluk yang satu ini. Ia kecil dan kehadirannya sering diabaikan, bahkan dianggap tidak ada di dunia ini. Ia bernama bekicot.
Bekicot selalu melakukan perjalanan setiap hari, mungkin bisa megelilingi dunia sekalipun. Berkenalan dengan berbagai spesies bekicot di belahan bumi atau hewan-hewan lain yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Namun, suatu ketika sang bekicot terhenti disebuah desa yang sangat makmur. Kemudian sang bekicot kembali melakukan perjalanan memasuki desa itu, di kanan dan kiri jalan terdapat rumah penduduk yang megah dan hamparan sawah nan hijau. Sang bekicot berbisik dalam hati, “Alangkah bahagianya jika aku tercipta sebagai manusia, tetapi kenapa Allah menciptakanku dalam wujud seperti ini?”
Sang bakicot kembali melangkah. Tetapi, beberapa menit kemudian ia terhenti di sawah. Ia berfikir akan makan dari tumbuhan hijau yang ada dihadapannya, namun, tak disangka seorang petani datang menghampirinya, dan mengomel habis-habisan, “Kau adalah perusak tanaman padiku! Kau hama yang harus dimusnahkan! Dasar tak bermanfaat!” Petani tersebut melempar bekicot jauh-jauh dari sawahnya. Sang bekicot terpukul atas ucapan petani. Bekicot hanya diam.
Tak lama, sang bekicot kembali melakukan perjalanan. Ia masih di desa yang sama. Namun, karena merasa letih ia kembali berhenti di depan rumah yang megah.
Sang bekicot kembali mengeluh, “Kenapa Allah menciptakan rumah di punggungku? Aku letih jika setiap hari terus membawanya. Tetapi, lihatlah manusia, mereka besar dan dipunggyngnya tidak ada rumah. Sedangkan aku sangat kecil dan rumahku selalu di punggungku!”
Perlahan air mata langit jatuh di kala sore menyapa. Saat sang bekicot bergegas mencari tempat perlindungan, tetapi ia ingat kemanapun ia pergi selalu membawa rumah. Jadi, tanpa pikir panjang sang bekicot bergegas memasuki rumahnya. Ia mengintip dari dalam dan berkata, “Jika aku manusia, aku tidak dapat berlindung dari hujan yang datang tiba-tiba.”
Sang bekicot kembali terdiam. Tak jauh dari ia berdiri. Sang bekicot mendengar kicauan suara manusia yang mengeluh,
“Sepertinya memang hidup ini tak adil!”
“Maklum saja jika dia pintar, dia anak orang kaya.”
“Tak pantaskah aku hidup jika terus menerus sakit, hartaku bisa habis.”
Perkataan-perkataan dari manusia-manusia itu seakan saling berhubungan. Sang bekicot tersenyum menatap langit sisa hujan, “Aku tahu kenapa Engkau menciptakanku seperti ini.” Ia kembali tersenyum, seraya melantunkan kalimat suci.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak satupun melainkan bertasbih dan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
QS. Al-Isra’ 44.
***
Hening. Termasuk aku. Aku menatap lekat mata mereka satu persatu. Terlihat jelas jika mereka –anak-anak TK, paham akan cerita tersebut. Ah, mereka yang masih kecil saja paham akan makna yang tersirat dari cerita Kak Isti barusan. Aku kembali terdiam. Dalam anganku hanya satu, dan aku menyesal telah melakukannya. Benar, ada maksud tersendiri mengapa aku di tugaskan mengisi blangko aneh di tempat ini.
Rasa syukurku akan kenikmatan yang telah diberi oleh-Nya kurang bahkan sangat kurang. Aku selalu mengomel ke ibu dan ayah, bahkan ketika ada sesuatu hal yang seharusnya itu lebih dari cukup, namun, aku selalu tak menerima. Aku pernah bahkan berulang kali mengomel habis-habisan ke guru mata pelajaran. Baiklah, mulai detik ini aku akan memperbaiki sikapku. Aku akan selalu mensyukuri segala nikmat yang telah diberi oleh-Nya.