Kita Telah Sampai Lagi, Pada Perjalanan yang Jarang Diketahui
Perjalanan dalam ruang per ruang telah membawa kita pada suatu masa yang lain sebelum Islam menyebar sampai pada hari-hari Islam telah membumi di tanah Demak.
Di dukuh Kauman dan desa Pidodo, dua lokasi yang berjauhan dan berbeda kecamatan pernah ditemukan yoni dan arca durga, namun dalam kondisi yang memprihatinkan, dari tidak utuh karena telah dirusak penduduk sampai berlumut dan ditumbuhi jamur.
Terdengar suara langkah kaki, orang-orang saling sahut-menyahut, membalas senyum, bertukar kabar, semuanya hilir mudik. Kita telah berpindah tempat dan kawasan Pecinan telah di depan mata, dengan satu wihara berdiri kokoh yang semula menghadap utara dan berganti menghadap selatan. Tak perlu terkejut, lokasi tempat kita masih berdekatan dengan alun-alun.
Jangan berburuk sangka, Demak sedari dulu telah mengenal toleransi dan kemajemukan dalam bermasyarakat. Mari, kita lanjutkan lagi…
Lokasi Demak berbatasan dengan pesisir pantai utara Jawa, bukan suatu hal yang mengejutkan jika Demak memiliki pelabuhan laut. Salah satu prasasti dari zaman Majapahit menyebut, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Demak (Dmak) termasuk salah satu dari 33 pangkalan lintas air pada masa itu. Diperkuat dengan tafsiran Mills (1970) tentang ekspedisi Cheng Ho sekitar tahun 1431-1433 yang dalam perjalananya dari Surabaya ke Palembang, jalur yang ditempuh Cheng Ho melewati beberapa tempat di jalur Pantai Utara Jawa, yang meliputi Tan-mu (Demak), Wu-chueh (Pekalongan), Che-li-wen (Cirebon), dan Chia-lu-pa (Sunda Kelapa).[i]
Catatan sejarah lain pernah menyebut, Demak pernah memiliki militer laut yang perkasa. Pada 1512 M Adipati Unus yang kemudian kita kenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor pernah menyerbu Portugis yang telah menduduki Malaka. Bukan tanpa alasan Portugis menguasai Malaka, ada sebab yang kemudian membawa bangsa Eropa lain ke Nusantara. Perlu kita ketahui lagi, perlawaan yang dilakukan Adipati Unus tidak hanya sekali, tetapi pada 1521 M, Demak kembali menyerang Portugis, namun tetap sama menemui kekalahan.
Portugis telah mengetahui tempat utama penghasil sumber rempah, yang pada masa itu rempah-rempah di Eropa dijual dengan harga yang tinggi. Jauh sebelum itu, hasil bumi berupa rempah-rempah telah melakukan perjalanan paling jauh, menyusuri bumi bagian Asia dan Timur Tengah.
Orang-orang pada masa itu telah mengenal rempah-rempah sebagai bahan dasar yang multifungsi dan manfaat, dari ritual tradisi, keagamaan, kecantikan, pengobatan, sampai pelengkap kuliner. Aroma wanginya telah tercium seantero bumi. Surga bagi setiap insan.
Seorang Belanda telah berhasil menyalin peta ekspedisi rahasia itu dari Portugis, Jan Huygens van Linschoten, melalui bukunya Itinerario yang kemudian tersebar luas dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis. Sejak itu, Nusantara tidak lagi wilayah yang tersembunyi.[ii]
Kita Berjuang Bersama, Mengenalkan Kembali Sejarah
Kita lahir dan tumbuh dari bangsa yang memiliki sejarah panjang, catatan perjalanannya telah tersebar ke penjuru dunia. Bahkan, jauh ke dalam diri telah mengalir darah leluhur yang abadi, serta nilai-nilai moral dan kebijaksanaan telah tertanam sejak dulu.
Sejak kecil tanpa kita sadari telah belajar sejarah, yang bertahan dari mulut ke mulut, penutur ke penutur selanjutnya, dari legenda sampai pengalaman-pengalaman yang pernah diterima setiap orang di masa lalu; tentang perjuangan sebelum Indonesia merdeka sampai saat ini. Percayalah, sejarah bukan sesuatu yang sulit dipelajari, karena kedekatan emosional sudah terjalin sejak dahulu.
Menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran wajib adalah pilihan paling tepat, dari SD, SMP, sampai SMA. Seperti ungkapan Soekarno, jas-merah; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tetapi, tidak bisa dipungkiri, belajar sejarah seperti lepas begitu saja setelah jenjang pendidikan formal itu berlalu. Apakah benar demikian?
Banyak manfaat bisa kita peroleh dari mempelajari sejarah, seperti dengan memetik nilai-nilai masa lampau yang kemudian direfleksikan pada kehidupan sehari-hari. Diri kita akan terbiasa berpikir dalam setiap pengambilan keputusan dan menilai, kritis serta lebih peka pada sekitar.[iii] Akan tetap relevan sampai kapanpun. Laksana rumah, sejarah menjadi salah satu bahan baku untuk membuat pondasi agar semakin kokoh.
Mari, kembali memperkenalkan yang pernah ada dari masa silam tentang Nusantara. Perjalanan panjang yang pernah berjaya pada masanya, tetapi bukan sekadar untuk meromantisisme keadaan. Melalui fakta-fakta itu, dalam diri kita akan tumbuh dan menambah pemahaman serta apresiasi pada setiap peristiwa yang pernah hidup di masa lampau.[iv] Bahkan lebih dari itu, cerita-cerita dari masa lampau akan mudah ditemukan lagi pada masa selanjutnya melalui bukti-bukti yang tersusun rapi dan tulisan yang ditulis kembali sejak hari ini. Masa sekarang dan mendatang yang akan lebih mengenal tentang Nusantara dan Indonesia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai awal dan akhir peradaban dunia.
***
DAFTAR PUSTAKA
- Daryanto. 2013. Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram. Yogyakarta: Penerbit Dipta.
- Marihandono, Djoko., dan Bondan Kanumoyoso. Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Merapah Rempah. 2021. Majalah National Geographic Indonesia: Edisi Khusus Jalur Rempah.
- Rahardjo, Sipratiko., dan Wiwin Djuwita. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: CV Putra Sejati Raya.
- Sulistiyono, Tri Singgih. Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah.
- Sumradi, Nurul Umamah., dan Eni Sri. Pengembangan Cerita Sejarah Gayatri Srwi Rajapatni Perempuan Pembangun Imperium Majapahit Pada Mata Pelajaran Sejarah SMA. Jurnal Pendidikan dan Humaniora. ISSN; 1907-8005, Vol. 55, No. 1, Maret 2017. Umar Syarif, Tubagus. Membangun Literasi Sejarah Lokal di Kalangan Siswa Melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis Keunikan Toponimi Kawasan Banten Lama. Jurnal The 1st International Conference on Language, Literature, and Teaching. ISSN: 2549-5607.
[i] Pigeaud (1960; Sedyawati 1985: 350) dalam Rahardjo dan Wiwin (1997: 65).
[ii] Esai Lilie Suratminto berjudul Takdir Ekspedisi Compagnie van Verre dalam National Geographic. Hlm: 36-41.
[iii] Konchhar (2008: 35) dalam Sumardi dan Eni. Hlm: 63.
[iv] Brian Garvey & Mary Krug (2015: 2) dalam Umar Syarif. Hlm: 978.