Tepat di pintu gerbang memasuki kawasan Masjid Agung Demak, kita memutuskan untuk berhenti sejenak, membiarkan atmosfer masa lalu memberi jalan, mengitari tubuh bersama dengan embusan angin dan memutar layaknya film dokumenter dari masa lampau yang telah termodifikasi zaman. Kita berjalan menikmati ramai sekaligus sepi dari ruang per ruang di masa lalu yang bermuara pada langkah kita: sekarang.
Kita Telah di Sini, Pada 500 Tahun yang Lalu
Bahkan lebih. Lima-ratus-delapan-belas-tahun yang lalu, kita akan melihat tanda itu dengan jelas di sini, tempat berdiri sekarang, dan candrasangkala yang telah kita lihat seksama. Tertulis, lawang trus guna ning jalmi pada pintu kuno yang memiliki arti 1399 Saka atau 1477 Masehi sebagai penanda tahun pendirian tempat yang telah kita pijak ini, Masjid Agung Demak.[i]
Candrasangkala dengan bentuk kepala naga yang dapat dilihat pada daun pintu utama di bagian masjid, menurut tradisi dikenal sebagai lawang bledek atau pintu petir yang dibuat oleh Ki Ageng Selo. Masyarakat meyakini, Ki Ageng Selo telah menangkap petir yang hendak menyambar, kemudian dialihkannya pada pintu kuno yang dikenal lawang bledek atau pintu petir. Coba kita perhatikan dengan seksama lagi, ornamen-ornamen pada pintu kuno tidak sembarangan, ia memiliki makna. Ki Ageng Selo menyimpan makna itu didalamnya, yang terdiri dari unsur dua kebudayaan di masa itu, Majapahit melalui gambar stupa bagian atas, dan kebudayaan Cina pada gambar naga di bagian bawah.[ii]
Kita Telah Kembali, Tahun-tahun Perkembangan Teknologi
2024, teknologi sudah berkembang lebih pesat, benda kecil bernama gadget telah merubah sudut pandang kita pada banyak hal, dan sejarah masih menjadi cerita asing bagi kebanyakan orang. Jangan menyerah, teruslah berjalan, poses yang panjang dan lika-likunya kan kita temui, sepanjang jalan.
Lihatlah pada masing-masing diri kita, yang didalamnya telah mengalir cinta pada sejarah bangsa, yang kini ikut mengalir pada bangunan-bangunan, peninggalan-peninggalan, serat, syair, tembang, bahkan literatur-literatur yang sampai hari ini masih bisa kita simak dan pelajari dengan seksama. Bangunan-bangunan itu masih berdiri kokoh melintasi zaman yang berbeda, serta benda-benda dari masa lampau yang tak utuh tetapi tetap bertahan dan ada tanpa tergerus arus informasi zaman.
Perjalanan kita telah sampai di sini, tempat penyimpanan benda-benda bermakna dari masa lampau; Museum Masjid Agung Demak. Tertulis dalam buku Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra bahwa museum didirikan pada tahun 1983 M. Kita dapat melihat peninggalan yang sampai saat ini masih terjaga, dari piring-piring hadiah dari Campa, tafsir al-Qur’an juz 15-30 yang ditulis oleh Sunan Bonang, lawang bledek, sampai soko guru yang telah tersimpan rapi di ruangan ini.
Foto para pemimpin dari zaman kesultanan Demak sampai sakarang bisa kita temukan dalam satu ruang yang di dalamnya terdapat jendela besar dan sangat membantu untuk melihat keluar berserta sudut pandang lain. Khas Masjid Agung Demak dengan atap tumpang tiga dan bangunan tinggi berbahan besi bernama menara. Tercatat menara masjid dibangun jauh setelah pembangunan masjid sekitar tahun 1934 M dengan jam besar yang sampai saat ini masih berfungsi sampai saat ini sebagai penanda waktu sholat.
[i] Atmodarminto dalam Babad Demak yang tertulis dalam buku Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Hlm, 28-29.
[ii] Ibid,. Hlm 28-29.
