KENAPA MASA DEPAN KITA BERGANTUNG PADA PERPUSTAKAAN, MEMBACA, DAN MELAMUN, adalah buku nonfiksi yang terdiri dari tiga esai dari tiga penulis, yaitu Neil Gaiman, Julian Baggini, dan Maghie Gram. Terbit versi Indonesia di Penerbit Tanda Baca (Pojok Cerpen Group) yang diterjemahkan oleh Ageng Indra pada tahun 2022 dengan tebal 58 halaman.
Sebenarnya ketika membaca judul dari buku ini, seketika langsung sumringah, mengapa? Tepat sekali, tidak jauh-jauh dari melamun. Namun, dalam buku dijelaskan, melamun berkaitan dengan buku dan imajinasi.
Buku tipis dengan tiga esai berbeda tema cukup menarik, dari Gaiman yang membahas perpustakaan, Baggini dengan ebook, dan Gram lewat audiobook. Bukankah ketiga hal ini sangat ramai diperbincangkan?
Neil Gaiman menulis esai sesuai judul buku ini. Bagian pembuka, Gaiman sudah mengajak kita untuk membaca, memperkenalkan membaca pada anak-anak, ada di halaman 4, “Cara paling sederhana untuk memastikan kita membesarkan anak-anak yang liteter adalah dengan mengajari mereka membaca, dan menunjukkan kepada mereka bahwa membaca adalah aktivitas menyenangkan.” Selanjutnya di halaman 5, “Fiksi yang kalian tidak sukai mungkin justru menjadi pintu gerbang menuju buku lain yang ingin mereka membacanya.”
Julian Baggini dalam esai e-Book vs Kertas menyebut di halaman 29, “Salah satu kekhawatiran berulang di era internet adalah anak-anak jadi kurang membaca. Namun ada berbagai bukti bahwa, kalau digunakan dengan bijak, e-reader dapat mendorong lebih banyak membaca.” Bukan persoalan tentang cetak atau digital yang lebih, tapi, lebih pada kegunaan bagi setiap diri/pembaca. Pembaca bebas memilih.
Kemudian Maggie Gram dalam esai Mendengarkan Buku membahas tentang audiobook. Jujur saja, cara membaca ini belum kulakukan. Bukan karena apa, tetapi, audiobook menjadi pengertian paling baru dalam kamus membacaku. Audiobook sendiri sudah diperkenalkan sejak 1935 dengan sebutan Talking Book.
Hal yang membuat terkesima lagi adalah WPA/Work Project Administration menyebutkan dalam plang bahwa, setiap orang yang bekerja di sini berperan membuat penyandang tunanetra di negara ini lebih bahagia. Bukankah hal ini sesuatu yang sangat humanis? Ketika kita mendebatkan membaca versi apa yang paling oke dengan alasan yang panjang tak terhingga itu, tetapi, ada bagian lain yang mengatakan dengan tenang dan bahagia seperti slogan tersebut.
Sebagai penutup, ada epilog yang ditulis oleh Ageng Indra, bagian yang menuliskan bahwa, “Lagipula, apabila tersedianya beragam bentuk buku memungkinkan perpustakaan di masa depan jadi lebih bermanfaat bagi lingkungannya, kenapa kita langsung menolak inovasi yang bisa memungkinkan itu?”