Rekomendasi buku Sabtu ini adalah novel karya Iwan Setyawan yang berjudul Ibuk. Novel yang terbit pada 2012 di Gramedia Pustaka Utama, dengan tebal 308 halaman. Novel bersampul warna toska ini juga tersedia di aplikasi perpustakaan digital, iPusnas.
Iwan Setyawan menulis cerita di novel ini begitu mengalir dan dekat. Pembaca akan dibawa ke berbagai perasaan, dari nyesek, menitihkan air mata, dan kehampaan. Novel yang tidak banyak drama, tetapi, kehidupan itu sendiri telah sepaket dengan drama. Sangat terasa nyata. Bayek, tokoh utama dalam novel yang kemudian memutuskan menulis sejarah keluarga, agar tidak hilang begitu saja.
Doa-doa dan perjuangan Ibuk dan Bapak. Malam itu, Bayek berjanji menulis sejarah keluarga untuk dirinya, keluarga, dan keponakan-keponakan. Agar mereka tidak terputus dengan sejarah keluarga, agar mereka tahu perjuangan kakek, nenek, dan ibu-bapak mereka. Agar mereka lebih menghargai hidup yang mereka lalui sekarang. Agar mereka lebih mencintai ibu, bapak, dan kakek-nenek mereka (hlm: 234).
Alur yang digunakan dalam novel ini alur maju. Namun, di bab awal kan membawamu pada masa silam, kisah Tinah dan keluarga yang tinggal di desa dan hidup serba pas-pasan. Tinah tidak bisa melanjutkan sekolah, SD saja tidak lulus. Tetapi, lambat laun dalam perjalanan hidupnya, dia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama, harus bisa sekolah dan berpendidikan tinggi.
Narasi yang ditulis dalam novel ini sangat detail, sederhana, dan tenang. Khas desa. pembaca akan diajak berjalan-jalan menikmati pasar tradisional tempat Tinah menghabiskan masa remajanya dengan membantu berjualan jarik bersama Mbah Pah. Mbah Pah seorang wanita sepuh yang tak lain adalah nenek Tinah. Mbah Pah banyak mengajari Tinah, dari tawar-menawar belanjaan sampai berdagang.
Sampai di sini konflik dalam novel terasa biasa. Namun, kamu harus melanjutkan lagi. Tinah mendapati sepasang mata asing yang menatapnya dari kejauhan. Playboy pasar menjadi julukannya, seorang laki-laki berambut klimis yang berhenti di warung makan tak jauh dari kios kecil Mbah Pah. Sepasang mata yang saling bertautan dalam diam.
Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka pintu hati. Hlm: 18
Abdul Hasyim dan Ngatinah menikah. Keluarga kecil itu masih menumpang di rumah Mbak Gik dan dikaruniai seorang anak perempuan, Isa namanya. Sungguh, cerita Ibuk, ini sangat zaman dulu sekali, walaupun mungkin mendekati masa-masa peralihan menuju reformasi. Bagaimana tidak, ketika Tinah sudah melahirkan kelima anaknya; Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, terkait informasi dan anjuran pemerintah tentang program Keluarga Berencana baru didengarnya.
Isa menjadi anak perempuan pertama dalam keluarga sekaligus menjadi panutan untuk adik-adiknya. Tak hanya pintar, dia juga sangat rajin dan tekun. Bahkan, disela-sela belajar, dia selalu membiasakan diri membersihkan rumah, dari mengepel dan membersihkan kaca jendela. Rumah keluarga itu tak besar, mereka menyebutnya rumah kecil yang cukup menampung mereka dari terik dan hujan. Kebiasaan-kebiasaan itu mulai tumbuh, Nani, juga mengikuti jejak kakaknya, sering membantu. Terkadang Bayek juga sama, tetapi, sedikit berbeda dengan yang lain, dia akan terus merengek ketika meminta sesuatu.
Beberapa halaman, alur dalam novel ini rasanya cepat, beberapa halaman pula, rasanya lambat. Campur aduk sekali. Tetapi, membawa semakin maju, ke titik hari itu. Keluarga Hasyim hidup pas-pasan. Menggadaikan cicin emas, menjual baju bekas, atau hutang ke Bang Udin. Bahkan Ibuk dan Bapak tak pernah membeli baju lebaran untuk mereka sendiri. Yang penting anak-anaknya bisa tersenyum dan mendatangi kerabat dengan bangga (hlm: 102).
Bolak-balik anak-anaknya telat membayar SPP, bahkan, rapor Bayek sempat ditahan sekolah karena belum lunas administrasi. Padahal Isa, Nani, dan Bayek selalu mendapat peringkat. Ada yang cukup menarik di sini, Ibuk, selalu rutin membuat adonan masakan dengan beras merah, katanya agar pintar dan sehat.
Tokoh yang menceritakan semua ini perlahan naik ke permukaan, tetapi, masih penuh dengan teka-teki. Tidak banyak kata kiasan yang digunakannya dalam menceritakan sejarah keluarga ini, tetapi narasinya begitu mengalir, dan kutipan-kutipan Cinta begitu pas.
Kekuatan doa. Begitulah yang dinarasikan tokoh aku dalam novel ini. Buk, doakan ujianku lancar, ya. Doakan aku bisa. Begitulah pinta Bayek kepada Ibuk, semenjak SD sampai kuliah. Bahkan, sampai saat dia harus tinggal jauh dari keluarga. Bayek hidup dalam doa Ibuk. Hlm: 138.
Novel Ibuk, mengajarkan perjuangan. Mengutip salah satu bagian dari dialog Ibuk, tidak melihat kehidupan susahnya sebagai penderitaan, tetapi sebagai perjuangan.
Love is sacred silence (Orhan Pamuk)